September 5, 2011

1 Mei (Hari peringatan pembebasan Irian Barat)

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia.

Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) adalah sebagai hasil pelaksanaan dari New York Agreement pada tahun 1962. Seluruh perencanaan sampai dengan pelaksanaan PEPERA itu sudah direncanakan oleh Pemerintah RI di Jakarta, tanpa setahu kami ada orang Papua Barat yang diikutsertakan dalam perencanaan pelaksanaan ersebut. Setelah itu datanglah suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Kota Baru / Jayapura sekarang) dan kemudian didampin- gi oleh beberapa anggota DPRGR Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh masyarakat dan adat untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara aklamasi dan bukan secara peroran- gan. Nanti apa saja yang menyangkut bunyi penyampaian agar seragam, maka akan disiapkan konsep-konsepnya dan saudara-saudara tinggal baca saja dan bagi yang tidak bisa baca-tulis nanti dihafal, sehingga tidak lupa dan untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP (Dewan Musyawarah Pepera) kemudian diasrama- kan. Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya harus memilih "Papua Barat menjadi bagian integral dari Indonesia". Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8 kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten menunjuk anggota DMPnya sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah Jakarta. Rincian anggota DMP sebagai berikut :

1) Kabupaten Merauke : 175 2) Kabupaten Jayawijaya : 175 3) Kabupaten Paniai : 175 4) Kabupaten Fakfak : 75 5) Kabupaten Manokwari : 75 6) Kabupaten Sorong : 110 7) Kabupaten Teluk Cenderawasih : 130 8) Kabupaten Jayapura : 110

                                    _____ +
Jumlah : 1.025

Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten. Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025 orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota DMP.

Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai daerah rawan. Menjelang July 1969 telah didropping pasukan untuk mengawasi jalannya PEPERA: 1. Kopasanda (sekarang Kopassus). *Kopassus sekarang kembali berada di Papua Barat untuk mencoba membasmi para gerilyawan OPM, melakukan teror terhadap penduduk dan membackup berbagai perusahaan yang beroperasi di daerah ini. 2. Riders (Baret Merah) pasukan berani mati. Kedua jenis pasukan ini bersama polisi sipil dan polisi militer menyamar dengan berpakaian preman. PEPERA bukan dilaksanakan oleh sipil, melainkan oleh militer yang menyamar sebagai orang sipil. Keadaan telah diarahkan sedemikian rupa sehingga kami tidak dapat berbuat banyak, kecuali takluk. Banyak orang diarestasikan tanpa alasan, diculik dan dibunuh. Kalau ada kesalahpahaman dengan tetangga yang asal Indonesia langsung dipolitisir sebagai anti pemerintah dan ini berakibatkan arestasi dan eksekusi. Kami semua takut ditembak dan harus berkata apa saja yang diinginkan oleh ABRI. Kami ditodong dan diindoktrinasi dengan berbagai macam konsep. Kami dipaksa menandatangani berbagai formulir dengan segudang pertanyaan dan pernyataan. Kadang-kadang tandatangan kami juga dipalsukan demi kepentingan ABRI dan pemerintah kolonial baru, Republik Indonesia. Seluruh keadaan sudah disetel sehingga kami hanya merupakan boneka yang diatasnamakan. Lebih kejam lagi, orang Papua Barat dianggap bodoh, buta huruf, terbatas pendidikan, dan lain sebagainya. Skenario drama politik telah disusun hanya untuk memenangkan Republik Indonesia.


Jayawijaya, Memilih di bawah bedil

Saya memprotes dengan mengajukan resolusi yang bunyinya antara lain: "Sekiranya semua parpol di Numbay (Jayapura), tidak satupun yang dijinkan untuk mewakili seluruh parpol di Wamena, maka saya menilai hal ini suatu kesalahan politik yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap dunia internasional mengenai Papua Barat". Akhirnya Sudjarwo dan Ortizan setuju dan menunjuk saya sebagai anggota DMP mewakili seluruh parpol yang ada di kabupaten Pegunungan Jayawijaya pada saat-saat itulah saya dipaksa oleh anggota ABRI untuk menandatangani berbagai pernyataan. Saya melakukannya dengan perasaan terpaksa. Beberapa teman saya dikejar dan ditangkap oleh anggota Riders yang dikomandani oleh Letnan Satu, Hatta Abad. Mereka, antara lain: Andi Ibo (pegawai PEMDA Tk. II Jayawijaya di Wamena), Yos Sokoi (Mantri kesehatan Ondoapo), Demi Wambrauw (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawijaya), Womsiwor (pegawai Dinas Koperasi Tk. II Jayawi- jaya), Nauw (pegawai PENSIP Wamena), Woyowai Nimbrot, dan lain lain. Seluruhnya berjumlah 76 orang. Mereka ditangkap, dimasukkan ke sel dan dianiaya. Kami semua dipaksa mengakui negara RI sebagai negara kami. Setiap anggota DMP dihadiahkan Radio SANYO buatan Jepang, 1 set gergaji, 1 buah sekap serta dijanjikan akan diberi uang. Tahun 1976 kami diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp. 200.000,- (dua ratus ribu). Kemudian tahun 1992 pada saat PEMILU kami, bekas anggota DMP, diberikan uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyard yang dikirim dari Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta.

Sekitar tiga per empat anggota DMP dari Jayawijaya buta huruf. Di dalam honai (rumah tradisional di Wamena) mereka ini dipaksa setiap hari untuk menghafal pernyataan kebulatan tekad. Semua anggota DMP dari tiap KPS (daerah kecamatan waktu itu) dikumpulkan di Wamena hingga saat pelaksanaan PEPERA. Sebetulnya waktu itu kami harus bersedia untuk mati dari melakukan suatu tindakan yang telah membawa akibat fatal bagi hak-hak orang Papua Barat. Itulah sekilas gambaran proses pelaksanaan PEPERA di Irian Barat pada tahun 1969 yang penuh intimidasi, tekanan, tipu daya dan manipulasi.

Dewasa ini orang Papua Barat telah tersisi dan miskin di atas kekayaan mereka. Setiap orang Papua Barat yang mencoba memprotes tindakan pemerintah Indonesia langsung saja diberi stempel OPM, ditangkap dan dibunuh. Praktek demikian masih terus berlanjut sampai saat ini.

Menjelang pelaksanaan PEPERA banyak sekali putra-putri terbaik dari Wamena daerah diculik dan dibunuh. Mahasiswa UNCEN (Universitas Cenderawasih), pelajar sekolah lanjutan umum dan kejuruan menjadi sasaran intimidasi atau teror sepanjang 1 Mei 1963 hingga selesai PEPERA 1969. Setelah PEPERA bekas anggota DMP pun tetap diawasi oleh ABRI.

2 comments:

outbound di malang said...

salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !

Unknown said...

izin copaz gan, nice blog ... blog walking kalo ada waktu silakan mampir di http://zulkarnainas19.blogspot.com

Post a Comment